Sabtu, 28 Juli 2012

Pembangunan Ekonomi Indonesia Gagal


Jakarta Pembangunan ekonomi Indonesia yang oleh sebagian orang dianggap menggunakan sistem neoliberalisme(sistem penjajahan modern yang berdampak menghilangkan proteksi dan subsidi kemudian investasi asing masuk dengan fasilitas yang mudah dan luas tanpa kendali),dinilai telah gagal. Politik dan sistem neoliberalisme dinilai sebagai sebuah kombinasi paling baik dalam memiskinkan masyarakat, dan sarana mengeruk kekayaan bagi segelintir elite.

Menurut Budiman Sudjatmiko: "Pembangunan ekonomi kita gagal. 104 Juta penduduk Indonesia dikategorikan miskin, bila menggunakan standar Bank Dunia penghasilan USD 2 perhari dan Politik bisa menjadi akses untuk rakyat memperoleh hak-hak politiknya. Selain itu birokrasi yang amburadul memang memungkinkan orang bisa mencuri,"

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, penggiat bidang ekonomi rakyat, Elya Mustika, memaparkan sebuah konsep ekonomi baru untuk memecahkan permasalahan ekonomi di Indonesia. Konsepnya adalah archipelagonomics yaitu sebuah tatanan ekonomi dasar yang dibangun dari kenyataan paling dasar dari kehidupan di Indonesia.

" di mana pembangunan ekonomi didasarkan pada kekuatan rakyat. Cara ini mungkin bisa dibilang antiinvestasi di mana sebenarnya investasi hanyalah untuk kepentingan perusahaan saja bukan kepentingan rakyat," tegas Elya.

" Pembangunan ekonomi yang baik seharusnya, tidak berfokus pada pengentasan kemiskinan. Poin yang penting adalah meningkatkan pendapatan dan taraf hidup (membangun disposable income) ,"masih menurut Elya.

Dari sisi pendekatan ilmiah, juga dapat dilihat bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi yang cocok di Indonesia. Pembangunan ekonomi Indonesia yang ada sekarang terlihat sekali belum memenuhi azas keadilan.

"Dalam penelitian saya, saya menemukan indeks manusia dan pembangunan ekonomi masih paling tinggi di Jawa dan Sumatra. Sementara di 3 pulau besar lainnya tidak menunjukkan adanya sesuatu yang signifikan dan Indeks pembangunan manusia yang baik, ternyata juga menyuburkan praktik korupsi di daerah Jawa dan Sumatera," terang peneliti dari Bandung Fe Institute, Hokky Situngkir.

Senin, 16 Juli 2012

Sistem outsourcing yang diperlukan untuk efektivitas usaha


Sistem outsourcing masih diperlukan untuk efektivitas usaha, tetapi harus patuh pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjan. Masalahnya, saat ini masih banyak agen outsourcing yang tidak patuh, dan terjadi pembiaran oleh pengawas. Permasalahan utama pada sistem kerja outsourcing berada pada pengawasan.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan saat ini revisi undang-undang ketenagakerjaan belum dibutuhkan. Karena dikhawatirkan justru berdampak pada pasal-pasal lainnya seperti aturan pemberian pesangon. Yang perlu dibenahi adalah tataran implementasinya.
System outsourcing adalah karyawan kontrak yang dipasok dari sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga outsourcing.
"Memang kalau undang-undangnya tidak direvisi, maka sistem OutSourcing akan terus terjadi. Saya menilai sebaiknya yang dibenahi pada tataran implementasinya yaitu, pihak pengawasan ketenagakerjaan yang berperan penting. Direvisi sebaik apa pun, kalau pengawasannya buruk maka masalah saat ini di sistem outsourcing akan terus terjadi. Malah lebih mengeksploitasi buruh,"
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus lebih berkonsentrasi pada pengawasan ketenagakerjaan, dan membentuk pengawas ketenagakerjaan khusus outsourcing dalam format tripartit yang langsung melakukan supervisi pengawas. 
Pengawas khusus ini juga bisa melakukan investigasi dan menyidik bersama-sama pengawas ke perusahaan, dan bisa melaporkan ke polisi bila terjadi pelanggaran. Pengawas ini dikhususkan karena pelanggaran outsourcing terhadap hak-hak normatif pekerja sudah luar biasa terjadi dan juga harus meregister ulang seluruh agen outsourcing yang ada di Indonesia, dan perizinan outsourcing yang diberikan Menakertrans, seperti izin pekerja asing yang tersentralisasi
harusnya pengawas khusus ini berada di tingkat pusat, provinsi, serta kabupaten dan kota.
Bila hal-hal itu bisa dilakukan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, maka paling tidak penolakan sistem kerja outsourcing akan berkurang. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi harus bersikap tegas